Tangerang7.com, Inspirasi – Ulama berselisih pendapat tentang cara turun untuk sujud ketika shalat. Sebagiannya berpendapat bahwa dua lutut harus didahulukan menyentuh tanah (tempat sujud) daripada dua tangan. Yang lain berpendapat sebaliknya, dua tangan harus didahulukan menyentuh tempat sujud, baru dua lutut.
Jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah menguatkan pendapat yang pertama. Malikiyah, imam al-Auza’i dan satu riwayat dari Imam Ahmad (pendiri madzhab Hanabilah) menguatkan pendapat yang kedua.
Ada juga yang tak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat di atas, Imam an-Nawawi dari kalangan Syafi’iyah misalnya, beliau berkata, ‘Tidak jelas bagiku keunggulan salah satu dari dua pendapat ini’.
Letak perbedaan pendapat ulama dalam persoalan ini adalah adanya dua hadits yang bertentangan, yaitu:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه
Artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian ingin sujud maka janganlah turun seperti turunnya unta. Hendaklah ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya.”
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Waa-il ibn Hujr radhiyallahu ‘anhu:
رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سجد يضع ركبتيه قبل يديه
Artinya: “Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, beliau mendahulukan dua lutut sebelum dua tangan beliau.”
Dua hadits di atas jelas sekali bertentangan dalam lafazhnya, dan belum diketahui ada ulama yang bisa mengkompromikan dan menggunakan dua hadits ini secara bersamaan.
Sekarang mari kita lihat sedikit keterangan tentang dua hadits di atas.
Hadits Pertama
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (269), Abu Dawud (840, 841), an-Nasai (II/207) dan ad-Daruquthni (I/345).
Hadits ini dishahihkan oleh asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam kitab tahqiqnya terhadap Sunan at-Tirmidzi. Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (I/158) dan Shahih Sunan at-Tirmidzi (I/86).
At-Tirmidzi sendiri telah mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Hadits Abu Hurairah ini adalah hadits gharib, tidak diketahui kecuali melalui hadits Abu az-Zinaad. Hadits ini diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Sa’id al-Maqbari dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Abdullah ibn Sa’id al-Maqbari didha’ifkan oleh Yahya ibn Sa’id al-Qahthaan dan lain-lain.”
Hadits pertama ini dikuatkan oleh riwayat dari Naafi’, beliau berkata, “Dahulu Ibn ‘Umar meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya dan berkata, ‘Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya’.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah (I/318-319) di bawah hadits no. 627, ath-Thahawi (I/254), ad-Daruquthni (II/326-328), al-Hakim (I/226) dan al-Baihaqi (II/100). Atsar ini disebutkan al-Bukhari dalam kitab shahih beliau secara mu’allaq dan dicantumkan dengan bentuk jazm (dalam kajian musthalahul hadits dijelaskan jika ada hadits mu’allaq yang tercantum dalam Shahihayn dengan bentuk jazm, maka haditsnya shahih).
Menurut al-Albani, atsar ini bersanad marfu’, shahih sanadnya, seperti yang beliau jelaskan dalam ta’liq beliau terhadap Shahih Ibn Khuzaimah. Demikian juga menurut Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab beliau Nahy ash-Shuhbah ‘an Nuzuul bi ar-Rukbah.
Riwayat dari Ibnu ‘Umar ini menguatkan pendapat bahwa cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari sujud adalah dengan mendahulukan dua tangan sebelum dua lutut.
Selain itu, yang juga menguatkan adalah hadits pertama (riwayat Abu Hurairah) berupa perkataan, sedangkan hadits kedua (riwayat Waa-il ibn Hujr) berupa perbuatan. Dalam kaidah ushul fiqih ditetapkan bahwa perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau.
Hadits Kedua
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (838, 839), at-Tirmidzi (268), an-Nasai (II/206), Ibn Majah (882), ath-Thahawi (I/225), Ibn Khuzaimah (626, 629), Ibn Hibban (1912), al-Hakim (I/226) dan al-Baihaqi (II/98). Hadits ini diriwayatkan melalui jalur Syarik, dari ‘Ashim ibn Kulaib dari ayahnya, dari Waa-il ibn Hujr radhiyallahu ‘anhu.
Hadits ini dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Hakim. At-Tirmidzi mengomentari hadits ini, “Hadits ini gharib, tidak seorang pun yang tahu ada yang meriwayatkan hadits ini dari Syarik.” Beliau kemudian berkata, “Diriwayatkan oleh Hammaam dari ‘Ashim dengan sanad mursal tanpa menyebutkan Waa-il ibn Hujr.”
Dalam Sunan at-Tirmidzi, setelah menyebutkan hadits ini dari jalur sanad Yazid dari Syaarik, Yazid ibn Harun berkatan, “Syarik tidak pernah meriwayatkan hadits dari ‘Ashim ibn Kulaib kecuali hadits ini.”
Ad-Daruquthni melemahkan hadits ini, beliau berkata, “Hanya Yazid sendiri yang meriwayatkan hadits ini dari Syarik dan tidak ada yang mengabarkan hadits ini dari ‘Ashim kecuali Syarik, sementara hadits Syarik dikatakan lemah jika hanya ia sendiri yang meriwayatkan.” Al-Albani juga melemahkan hadits ini dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, demikian pula asy-Syaikh Syu’aib dalam tahqiq beliau terhadap kitab al-Ihsaan fi Taqriib Shahih Ibn Hibban.
Sebagaimana ada yang menguatkan hadits pertama, hadits kedua ini pun ada yang menguatkan. Hadits kedua ini dikuatkan oleh beberapa atsar shahih yang menyatakan bahwa ‘Umar ibn al-Khaththab dan ‘Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mendahulukan lutut daripada tangan saat turun untuk sujud.
Hadits kedua ini juga dikuatkan karena ia merupakan hadits yang diamalkan oleh mayoritas ulama. Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama beramal dengan hadits ini. Mereka berpendapat dengan meletakkan dua lutut sebelum meletakkan dua tangan, dan ketika bangkit mengangkat dua tangan sebelum dua lutut.”
Kesimpulan
Dua hadits di atas sama-sama diperselisihkan oleh para ulama keshahihannya. Ada yang menshahihkan hadits pertama dan melemahkan hadits kedua, ada juga yang sebaliknya menshahihkan hadits kedua dan melemahkan hadits pertama, dan masing-masing hadits pun memiliki penguat yang telah dijelaskan sebelumnya. Kondisi ini wajar menyebabkan ulama berbeda pendapat tentang menentukan kaifiyah yang tepat untuk turun ke sujud ketika shalat.
Lalu bagaimana sikap kita? Kita wajib memilih pendapat yang hujjahnya terkuat menurut kita, sembari tetap menghormati pendapat yang berbeda yang juga memiliki hujjah.